Meng-LSM-kan Pustakawan
Mengenal lebih dekat pada Profesi
dan Pemustaka
(opini sebagai orang LSM yang
menjadi pustakawan)
Kalau
disebut sebagai bakat alam maka tidak lagi perlu dilatih dan di didik, tinggal
dipertajam dengan menggunakan cara berkarya, itulah mungkin sebutan jiwa orang
LSM.
Bisa
hidup dimana saja, bisa bergaya apa saja, bisa dekat dengan siapa saja, bisa
masuk disemua golongan, bisa beradabtasi dengan cepat, penampilan sederhana,
bersahaja, apa adanya, jujur, mengedepankan kepentingan umum sampai pada level
anti kemapanan, jiwa sosialnya luar biasa. Mungkin masih banyak sebutan lagi
yang lebih miring, penampilan kasual, tas ransel, tidak rapi dan anti perlente,
sedikit terkesan jorok karena makan bisa disembarang tempat. Kenapa mereka
begitu ? karena dengan begitu mudah dikenal dan masuk disetiap golongan untuk
menyampaikan ideologi yang dianut, menyebar ajaran melalui visi misi yang
diembannya, melakukan perubahan dengan perlahan dan pasti, sabar dan sangat
rendah hati.
Makanya
orang LSM jika bergerak dipilar pilar CSR akan bisa diterima apabila tidak
mengenakan topeng visi pengamanan perusahaan yang “amboradul”. Bergerak di
bidang pendidikan maka LSM ini biasanya dipergerakan sekolah inclusive,
mendekat pada kaum marginal, sekolah dengan berbasis community need. Terkesan sederhana
bahkan cenderung apa adanya tapi bobot materi yang diajarkan biasanya memiliki
kemampuan kompetisi yang tidak diragukan lagi. Lebih fokus pada bidang yang
ditekuni (expert). Proses yang dilakukan tanpa dipaksakan mengalir apa adanya,
dan model seperti ini sangat disukai oleh masyarakat.
Bidang
kesehatan maka lebih menyukai terapi kesehatan back to nature, berbasis pada kearifan
lokal, warisan leluhur dan memprosesnya menjadi produk ramah lingkungan dan
seterusnya. Kebersihan juga akan dikaitkan bagaimana mengelola alam dengan cara
recycle.
Bidang
ekonomi, maka tumbuhnya perekonomian didasarkan pada gotong royong dan kebersamaan,
bukan pada monopoli dan hukum rimba. Disini biasanya peran orang LSM sebagai
mediasi ataupun pelaku yang akan menjadi model perekonomian baru, baik melalui
sektor pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan maupun sektor kehutanan. Sektor
industri bermain di level buruh maka menciptakan buruh cerdas dan kritis akan
hak dna kewajibannya.
Bicara
secara khusus mengenai PUSTAKAWAN sebagai profesi yang tidak popular di
masyarakat maka Pustakawan perlu mengubah jiwa dan batinnya menjadi orang LSM. Jika
berhasil membentuk karakternya menjadi orang LSM sejati, maka sangat mudah
masuk kesagala kelompok masyarakat, membawakan pengetahuan bukan memberikan buku
secara fisik, membawa informasi melalui bentuk bentuk diskusi kerakyatan. Membawa
kecerdasan melalui berbagai kegiatan ketrampilan, membawa perubahan dengan
media perpustakaan. Memahami perpustakaan menjadi sesuatu yang lebih global. Bukan
sebuah ruang dengan buku sebagai jantungnya, bukan gedung yang megah dengan
segala sistemnya yang serba canggih, tapi membawa kesederhanaan yang bisa diakses
masyarakat tingkat bawah. Jika LSM mampu membangun sistem tercanggih berada
dalam satu gedung megah maka bukan sebuah monumental yang dibanggakan, tapi
sebuah media yang familiar diakses siapapun, menjadi kebanggaan karena
fungsinya, bukan sebuah proyek menguntungkan. Itulah sekiranya jiwa LSM yang
sebenarnya. Maka profesi pustakawan akan mudah dikenal masyarakat, mudah
dipahami masyrakat, lebih mudah diterima.
Yayasan
Pengembangan Perpustakaan Indonesia adalah sebuah LSM yang didalamnya adalah
sekumpulan orang orang yang berjiwa LSM termasuk Pustakawan juga harus bisa
menjiwai LSM. LSM yang mengembangkan perpustakaan berbasis komunitas diseluruh
wilayah Indonesia dengan memanfaatkan CSR untuk seluruh operasionalnya.
Pustakawan bukan LSM sangat terlihat berbeda jika dibanding orang LSM,
perbedaanya adalah dari fasilitas yang diminta untuk bekerja saja sudah beda,
orang LSM menggunakan tehnologi tepat guna, artinya apa yang ada digunakan
dengan tepat, tapi bagi Pustakawan terlebih yang lulusan dari perguruan tinggi
ternama, meminta fasilitas yang harus memadai. Transportasi mennggunakan mobil
dan driver sebagai pelengkapnya, konsumsi tidak mau makan di kaki lima, mesti
diresto yang tertutup, kesehatan dijaga penuh dengan makan 3 x plus lauk pauk
yang dikatakan empat sehat lima sempurna. Penginapan minimal yang berbintang
satu, tidak mengenal kelas melati. Alhasil ketika dipaksa membumi mengikuti
cara LSM maka strees tingkat tinggi dengan segala keterpaksaan mengikutinya,
yang akhirnya berpengaruh pada kinerja.
Orang
LSM dituntut untuk bekerja serba bisa, mulai dari menuliskan atau memprogramkan
apa yang akan dikerjakan, mengkoordinasikan, melaksanakan sampai membuat
laporan, bahkan administrasi juga harus
dikerjakan sendiri, tidak pakai waktu lama, serba cepat dan tepat, efisiensi
biaya. Dengan efisiensi maka semakin banyak hal bisa dilakukan, sehingga terkesan
orang LSM hidup sederhana dan dengan segala kesederhanaannya itulah maka orang
LSM dianggap berpihak pada masyarakat (grass rote). Jika suatu saat ada LSM
yang mampu memiliki asset dan fasilitas kendaraan maka fungsi untamanya adalah
untuk kepentingan umum, kepentingan pribadi terkesan tidak terurus.
Sekarang
kalau kita lihat Pustakawan Indonesia, maka bekerja adalah sebuah kewajiban
untuk mendapatkan imbalan yang setimpal, karena merasa cukup memiliki ilmu,
pengetahuan yang di dapatkan disekolah tinggi sebuah universitas. Pilihan akan
jatuh di tempat yang nyaman dengan segala fasilitas yang cukup memadai, berpakaian
rapi, duduk melayani, beramah tamah dengan semua pengunjung, tanpa berkeringat
karena ruangan cukup sejuk. Jika yang datang kelas atas, maka keramahannya
bertambah 100%, jika golongan menengah keramahan cukup 50%, jika yang datang
kelompok bawah maka kesibukan datang tiba tiba dan tidak memiliki waktu untuk
melayani, silahkan mencari sendiri buku yang ada, maaf kami sedang sibuk, begitu
kira kira ucapannya. Jika diminta datang ke daerah mendampingi perpustakaan
maka, halo tolong kami besuk dijemput ya dibandara pukul 10.30, kemudian begitu
duduk dimobil jemputan maka yan ditanya pertama kali adalah kuliner apa yang
enak di daerah ini. Meluncurlah mobil tersebut ke tempat tujuan kuliner. Selesai
makan pagi separuh siang maka chek in dulu di hotel, duduk dan merabhkan diri,
karena perjalanan dianggap meleleahkan. Selesai rebahan dan berdandan baru
dijemput untuk diantar ke lokasi, penyambutan dengan segala entertaintnya cukup
membuat senang semua pihak, dan malam kuliner lagi. Kenyamanan fasilitas dan
kerja cukup adalah standar yang sudah layak di dapatkan Pustakawan, masalah
hasil itu soal nanti, yang penting jalan. Kemudian ketika hal ini dari tahun
ketahun dilakukan dengan ritme yang sama maka terakumulasi menjadi sistem yang
berakhir pada sebuah kegagalan dan tidak berkembangnya perpustakaan dengan
baik.
Pustakawan
LSM mulai pagi mandi, nyiapain mobil, berangkat layanan, menyapa masyarakat
yang dilaluinya, berhenti membuka mobil, menunggu pengunjung datang,
bermandikan matahari, dengan senang hati menyapa satu demi satu pengunjung
bercengkerama, bercanda, apa kabar hari ini, masak apa hari ini, panen apa hari
ini, hasil melautnya bagaimana ? dan masih banyak pertanyaan yang terlomtar
dari pustakawan LSM dengan aroma mataharinya. Kemudian ketika dia lapar,
mencari warung yang ada disekitarnya, membeli cukup untuk dibagi kepada yang
saat itu ada, jika ada rejeki maka pengunjung perpustakaan memberinya makan,
minum atau kue, nikmat rasanya. Ketika ada anak kecil datang diajaknya menyanyi
atau mendongeng di bawah atap langit, sejuk angin membawa kedamaian hati. Luar biasa
nikmat rasanya. Daerah terpencil untuk mencapainya dibutuhkan pengorbanan
meninggalkan keluarga, menikmati apa yang ada yang sebenarnya beda adat dan
budaya, tapi dinikmati sebagai sebuah karunia. Tanpa mengeluh dan berharap
pulang, karena dinikmati sebagai pengabdian kepada bangsa dan negara. Itulah jiwa
jiwa LSM yang menggunakan topeng keputakawanan yang kadang dicela oleh pemilik
topeng. Karena untuk menggunakan topeng itu mesti berilmu dan bersekolah
katanya.
LSM
ditingkat konseptor, akan selalu kreatif membuat terobosan dan tidak lagi
berfikir budaya membaca, tapi terus bergulir menjadi budaya kreatif dan
invatif, secara otomatis siapa yang kreatif dan inovatif itu hasil kerja
membaca. Maka Pustakawan LSM terus mendekati masyarakat untuk bersama sama
mengkreatifkan program perpustakaan yang berkesinambungan, memandirikan
perpustakaan tanpa bergantung siapapun. Pustakawan LSM mendekati corporate dan
orang potensial untuk diberdayakan kemakmurannya menjadi sebuah daya kreasi.
LSM Perpustakaan terus berfikir kritis mendekati Pemerintah dan memberinya role
model bahwa Perpustakaan itu adalah sesuatu yang berjiwa dan menjiwai
masyarakat. Perpustakaan dimasa sekarang dan akan datang itu berada dekat
dengan masyarakat, berada paling dekat dengan kehidupan masyarakat. Peran penting
pemerintah adalah penyedia fasilitas, fungsi pemerintah menggerakkan masyarakat
sehingga fasilitas yang tersedia berfungsi baik, ketika berfungsi baik, maka
syarat syarat penyambung kecerdasan akan terus tumbuh dan berkembang mengikuti
gerak langkah kegiatan yang dilakukan perpustakaan.
Universitas
sebagai pencetak pustakawan yang profesional seharusnya mengubah mindset apa
dan bagaimana perpustakaan itu berada dan melakukan fungsi yang sebenarnya. Maka
Pustakawan entrepreneur perlu dicetak untuk terus bergerak menjadi insan
mandiri yang mampu menciptakan lapangan kerja sebagai Perpustakaan dan
Pustakawan sekaligus dalam satu jiwa. Entrepreneurship Pustakawan itu mampu
melakukan gerakan spontan baik berorientasi pada social networking maupun pada
profiteble untuk kehidupannya. Tidak sulit jika niat dan jiwanya sudah menyatu
menuju sukses hidup, sukses hidup adalah menjadi Pustakawan sebaik baik
Pustakawan yaitu yang bermanfaat sebanyak banyaknya pemustaka dan msyarakat
umum, bahkan bangsa dan negara.
Kalau
kita mengatakan belum terlambat untuk mengubah dan berubah maka bisa kita mulai
sekarang, menyatukan hati membentuk satu jiwa menuju visi yang sama adalah
upaya mengubah keadaan. Meng-LSM kan pustakawan bukan berarti semua diubah
menjadi LSM, tapi secara proporsional ada yang berperan menjadi LSM, sekalipun
dosen, sebagai akademisi juga perlu meng-up grate otaknya, jika mnejadi pejabat
perlu instal ulang komponen dan jiwa kepustakawanan yang berorientasi pada
kepentingan masyarakat. Jika menjadi mahasiswa maka perlu banyak mendownload
ilmu ilmu yang melengkapi Kepustakawanan dan Pustakawan yang entrepreneurship. Jika
masyarakat maka perlu menggunakan kacamata untuk melihat dengan jelas siapa dan
bagaimana peran Pustakawan yang sesungguhnya sebagai profesi yang berperan
penting.
Pengalaman
berbicara bahwa dedikasi dan loyalitas di dunia kepustakawan menghantarkan
kesuksesan pada skema terapan jiwa dan kepribadian LSM. Menghantarkan kegagalan
dalam mengurus lembaga jika pustakawan berorientasi pada penyediaan fasilitas
untuk kenyamanan hidup Pustakawan nya itu sendiri. Jika ingin mendiskusikan ini
lebih jauh lagi maka contoh kongkrit ada di depan mata kita semua. Kesuksesan itu
sebagai proses untuk menjadi manusia sebaik baik manusia, bukan menjadi
kabnggaan karena akan bermuara pada kesombongan, kerendahan hati akan
mencipatakan kedamaian dimuka bumi dan seisinya termasuk para pustakawan dari
berbegai eleman dan institusi yang menaungi. Sertifikasi dan pengakuan adalah
kertas yang bertuliskan hitam putih atas pengakuan diri, bukan pada karya
nyata. Semoga kita semua menyadari sama sama bahwa kehidupan ini menjadi lebih
berarti jika kita mampu mengubah diri kita masing masing menjadi Pustskawan
sebaik baik Pustakawan.
Salam
literasi untuk negeri.
Trini